Pertama
kali saya mengenal Bhutan itu waktu saya masih remaja kinyis-kinyis. Dari
majalah saya membaca tentang negara mini berbentuk kerajaan yang berada di
daerah pegunungan Himalaya. Tentu saja yang menarik perhatian saya sebenarnya
adalah pangeran Bhutan yang kece kayak pemain film. Sampai-sampai fotonya saya
pelototin terus menerus.
Dekade
demi dekade berlalu dan di tahun 2018 seperti dalam mimpi ketika saya ditawarin
oleh atasan saya untuk ke Bhutan dalam rangka pekerjaan. Siapa yang menolak?
Jadwal dinas kami bertepatan dengan beberapa hari sebelum libur lebaran. Saya
dan Shiska, rekan saya, memutuskan untuk memperpanjang waktu kunjungan kami di
Bhutan agar kami bisa jalan-jalan dan belanja (pastinya!). Itu awal dari
rangkaian kunjungan lainnya ke Bhutan, yang memang untuk urusan pekerjaan. Tapi
hey, ke Bhutan untuk urusan pekerjaan tapi dibayarin alias gratis, tetap saja
menyenangkan. Hehehe.
- Negara cantik dengan pilot keren
Melihat
Bhutan dari ketinggian, dari dalam pesawat pastinya, saya sudah jatuh cinta.
Lembah-lembah, tebing pegunungan, terlebih dahulu melintasi pegunungan Himalaya
dan jika beruntung melihat langsung puncak Everest yang diselimuti salju, terlihat sangat cantik. Begitu pesawat mendarat, betapa kagetnya saya dan Shiska, karena pesawat meliuk
melewati tebing-tebing yang jaraknya mepeeeet banget dengan badan pesawat
sebelum mendarat mulus lus lus di runway.
Catatan
penting, pilot-pilot pesawat Bhutan memang luar biasa, entah itu pilot dari
Bhutan Airlines atau Royal Bhutan Airlines, mereka selalu menerbangkan pesawat
dengan mantap. Take off-nya mantap dan
mulus, selama penerbangan juga mantap dan ketika mendarat mamamiaaaa, mulus
banget sampai nggak berasa tahu-tahu sudah menyentuh tanah.
Kalau
terbang dari Bangkok menuju Bhutan, mintalah tempat duduk di sisi kiri karena
penumpang akan dapat melihat pegunungan Himalaya dari jendela pesawat. Kalau
langit cerah, maka puncak-puncak gunung keren itu akan terlihat bahkan bisa
lihat Everest!! Kalau penerbangan dari Bhutan ke Bangkok, pastikan tempat duduk
di sisi kanan dan sama juga, akan terlihat pegunungan Himalaya di sisi kanan.
Cakep yaaaa... |
The majestic Himalayan mountain |
Penerbangan mulus dengan Royal Bhutan Airlines atau Druk Air |
Pakai Bhutan Airlines, keren juga. Abaikan jaket yang dipakai, entah kenapa selalu pakai jaket yang sama |
Cantiknyaaaa |
Cakep cakep cakep |
- Turis tidak sembarang turis
Oke,
balik lagi ke Bhutan ya. Banyak sekali yang membuat saya senang sekali datang
berkali-kali ke Bhutan.Kalau ditanya susah nggak ke Bhutan? Yah, saya agak
susah jawabnyak, karena setiap kali saya ke sana selalu dalam rangka dinas atau
pekerjaan. Artinya, tiket pesawat Jakarta-Bangkok-Bhutan dan sebaliknya,
akomodasi di Bangkok (harus menginap!) dan selama di Bhutan, visa ke Bhutan,
surat ijin lewat untuk diperiksa di checkpoint,
semua diurus sama klien. Saya memang beruntung, di lain pihak, saya beberapa
kali ngobrol dengan beberapa orang Bhutan langsung dan orang asing yang
kebetulan juga lagi tugas di Bhutan, dan dari mereka dapat disimpulkan ke
Bhutan memang tidak semudah pergi ke negara-negara lain. Bukan masalah visanya,
tapi dari Kerajaan Bhutan memang membatasi jumlah wisatawan yang masuk ke
negara mereka agar kelestarian di sana tetap terjaga. Setiap orang asing yang
berkunjung ke Bhutan harus membayar sekitar 200-250 dollar per hari (tergantung
musimnya), ini sudah termasuk untuk makan dan penginapan. Setiap wisatawan juga
harus menggunakan tour leader resmi yang
ada di Bhutan. Bos saya saja yang tahun lalu berlibur ke Nepal, Tibet dan
mampir ke Bhutan mengatakan pada saya kalau biaya terbesar untuk 3 negara itu
ada di Bhutan! Wah…
- Denting merdu Bhutan
Kenapa
saya mengatakan negara ini berdenting merdu? Hehe, sebenarnya karena saya
senang sekali kalau mereka berbicara. Seperti ada lagunya, melodious gitu.. Jernih dan seolah-olah
berdenting. Ah, senangnya. Ohya, mereka punya bahasa nasional yaitu Dzongkha, walau sebenarnya di
daerah-daerah tertentu mereka punya bahasa daerahnya sendiri. Untuk kalimat
yang lebih sopan mereka selalu menambahkan kata -la di belakang kata. Seperti menyapa orang dengan
kata Kuzuzangpo-la,
atau sekedar good morning-la..
Sambil
berbicara mereka juga suka sekali menggoyang-goyangkan kepalanya persis seperti
orang India. Nggak heran sih, karena banyak orang India di Bhutan terlebih di
kota Puentsheling yang berbatasan dengan India, acara-acara TV di Bhutan pun
didominasi dengan acara India. Eh tapi di pendidikan mereka, bahasa pengantar
adalah bahasa Inggris. Iyaaa, sebagus itu bahasa Inggris mereka. Saya sampai
terharu membaca email maupun catatan mereka dalam bahasa Inggris. Tata bahasa
tingkat dewa. Belum lagi pas mereka ngomong, saya jadi minder… Bagus pakai
banget.
- Senyum tulus, kepedulian tinggi dan pelukan hangat
Warga
negara Bhutan cinta sekali dengan negaranya dan sayang dengan raja-nya. Iya
loh, ini terlihat dari niat mereka untuk memang menjaga Bhutan tetap lestari,
memperhatikan hukum yang berlaku dan memasang foto Raja, Ratu dan si Pangeran
kecil di mana saja. Ketika saya ngobrol dengan beberapa peserta, beberapa dari
mereka ada yang menimba ilmu di Australia ataudi Eropa tapi tetap kembali ke
Bhutan untuk berkarya. Salut sayaaaa…
Mereka
juga ramah, hangat, sopan dan baik banget. Sebelum bertemu mereka saja, saat
masih Whatsapp-an dengan salah satu dari mereka, mereka sudah sangat terbuka,
hangat dan nggak sabar ketemu dengan kami.
Tiba di
sana, mereka benar-benar tulus menyapa dan menyambut kami. Bahkan ketika kami
pulang, pelukan hangat dari mereka selalu kami dapatkan.
Nongkrong dengan beberapa peserta sebelum balik ke Paro |
Nggak
cuma klien kami, bahkan tour guide yang
memandu kami selama di Bhutanpun juga ramah. Ketika saya sudah ngos-ngosan
menapaki tangga yang nggak habis-habisnya menujut Tiger's Nest, tour guide kami dengan santai menawarkan untuk
menggendong saya sampai ke atas. Haaah, gendong saya yang beratnya ampun-ampun
ini?? Nggak lah, harga diri nih. Walau terseok-seok, saya tetap menapaki tangga
dengan kaki saya sendiri sampai ke Tiger's Nest dan pulang lagi ke bawah.
The famous Tiger's Nest. Setinggi itu dan sesusah itu untuk ke sana |
Tour guide yang siap menggendong saya. Hahahaha |
Sopir
yang mengantarkan kami dari Paro ke Puentsheling yang berjarak 4-5 jam pun
ramah dan sopan. Saya dan Andri dikasih apel yang memang lagi musim waktu itu.
Eh, ada cerita menarik tentang satu sopir yang pernah mengantar kami. Jadi
perjalanan Paro-Puentsheling itu penuh liku, jalanan kecil, di pinggir udah
jurang menganga, dan berkabut. Pokoknya off
road dan saya sarankan minumlah antimo. Serius. Nah, kabut bisa datang
kapan saja, walaupun belum tentu hujan. Pas lagi jalan berkabut, sopir kami
malah ngebut dan pakai kacamata hitam dong. Ketika saya tanya, kok pakai
kacamata hitam? Dia bilang biar bisa lebih fokus dan keliatan. Saya yang
melihat kabut tebal di luar makin ngeri-ngeri sedap dan mending tutup mata!!
Beginilah kira-kira kabutnya... |
Ada
cerita lain nih. Suatu saat, saya dan Andri memasuki sebuah toko di Paro. Ini
kunjungan saya yang ketiga ke Bhutan dan pertama kali bagi Andri. Nggak heran
dong, langsung mampir ke toko souvenir untuk beli oleh-oleh. Ketika Andri
sedang sibuk memilih souvenir untuk keluarga dan teman-teman di Bandung, saya
mencium bau sedap. Bau susu yang enak sekali apalagi di udara yang dingin.
Ketika saya sampaikan itu kepada mbak-mbak yang jaga toko, dia jawab itu
sebenarnya milk-tea, atau teh susu yang mereka buat sendiri. Tiba-tiba dia
ngomong,"Do you want it Mam?"
Eh serius nih, saya menoleh ke Andri dan Andri pun mengangguk dengan semangat. "Yes, please if you don't mind,"jawab
saya.
Beberapa
menit kemudia, kami menikmati teh susu yang nikmat sekali dengan menggunakan
cangkir dengan gambar naga yang menjadi trademark
Bhutan. Ah, senangnya, rasa hangat langsung mengalir di tubuh saya.
Entah
kenapa ya, mungkin bawaan orang Indonesia yang cepat akrab dengan orang lain,
di Bhutan pun saya dan rekan-rekan mudah akrab dengan mereka. Di kunjungan saya
yang pertama, saya dan Shiska ditanya apakah kami akan langsung balik ke
Indonesia atau mau menginap dan mengunjungi tempat wisata di Bhutan. Ketika
kami sampaikan kalau kami akan extend
sampai sekitar 4 hari karena ingin mengunjungi Tiger's Nest, kami dapat kabar
gembira kalau semua perjalanan kami ditanggung oleh klien. Rasanya ingin
menangis saking senangnya, apalagi setelah tahu biaya ke sana itu mahaaal.
Kunjungan ketiga, giliran Andri dan saya, kami diberi souvenir buku perangko
yang isinya koleksi perangko-perangko keren negara Bhutan. Ah, senangnya. Di
kunjungan keempat, saya dan Radit mendapatkan souvenir lain lagi. Radit yang
baru pertama kali ke Bhutan dan tidak bisa kemana-mana karena urusan pekerjaan
dan waktu kami mepet, diberikan souvenir snowball
Bhutan. Keren. Saya mendapat tas khas Bhutan. Eh, nggak itu saja.. Kolega saya
di sana yang sudah dekat dengan saya semenjak kunjungan pertama, membawakan saya momo (dumpling) khas
Bhutan sebagai cemilan perjalanan pulang ke Paro. Dari seorang peserta saya
dapat hadiah pancake yang terbuat dari buckwheat, tepung spesial yang bagus untuk
kesehatan. Nggak itu saja, beliau pun meminta istrinya untuk mengirimkan tepung
buckwheat dari rumahnya yang jaraknya
4-5 jam dari kota tempat kami menginap dan memberikannya ke saya. Saya.
Terharu. Banget.
Kolega
saya dari Singapura yang kebetulan saat itu tugas bersama-sama dengan kami
langsung cemburu,"Why you got so many
things, and I don’t get any from my class?" Dengan kalem saya
jawab,"That's because of my
charisma." Dia dan klien saya pun tertawa terbahak-bahak. Kalau
kata bos saya, mungkin saya ini punya wajah memelas yang bikin klien ingin
memberi sesuatu pada saya. Hehehe
Kolonel yang kasih pancake dan buckwheat. Baiknya... |
- Budaya Bhutan yang memesona
Bukan
cuma warganya yang ramah, saya dan rekan-rekan saya juga terpesona dengan
budaya di Bhutan yang membuat saya terkagum-kagum.
Mereka
tetap melestarikan dan bangga sekali menggunakan pakaian nasional mereka yaitu
Gho untuk para pria dan Kira untuk para wanita. Gho ini keren sekali loh.
Kantungnya bisa digunakan untuk macam-macam, dari benda-benda kecil seperti
dompet, alat tulis, pernak-pernik sampai laptop dan anak kecil pun bisa masuk.
Selama kami training, kami dibantu sama Mr. Teku yang cekatan dan jago banget
urusan IT. Dia bisa dengan entengnya memasukkan Mac book dan puluhan flash disk ke dalam kantung Gho-nya. Haha.
Saya sampai terbengong-bengong dan dia nyengir doang.
Kira yang
digunaka para wanita Bhutan juga cantik. Motifnya macam-macam dari harganya
yang murah sampai yang muahal juga ada. Kadang mereka menggunakan kain sari
India dan dijahit sebagai Kira. Mereka terbiasa menggunakan pakaian ini dalam
aktifitas sehari hari dari sekolah sampai bekerja. Coba bayangkan kalau kita
menggunakan beskap, kebaya dan kain-kain tradisional setiap hari. Seru juga ya.
Kalau
melihat foto-foto di internet tentang baju tradisional Bhutan, selain Gho dan
Kira ada juga selempang yang mereka gunakan, semacam scarf atau stash. Ternyata ada artinya loh kalau
menggunakan warna tertentu. Ada warna kuning yang digunakan oleh Raja, warna
oranye, warna krem dan warna putih.
Untuk
acara resmi seperti bertemu dengan Raja, mereka harus mengenakan selempang itu.
Begitu juga ketika mereka masuk ke Dzong dan
shrine. Dzong
itu kayak bangunan benteng yang di dalamnya ada kantor-kantor pemerintahan dan
juga ada shrine-nya. Keren ih.
Oh ya,
ada hal menarik lagi nih. Di akhir training kami, ada pembagian sertifikat.
Kami meminta untuk pihak klien dengan jabatan tertinggi di insititusi tersebut
yang menyerahkan sertifikat. Ketika para peserta maju untuk menerima
sertifikatnya, mereka akan membungkuk, kedua tangan membuka dari lutut menyapu
ke kaki sebelum berdiri dan menerima sertifikat. Ini semacam penghormatan
kepada orang yang jabatannya lebih tinggi.
Salah satu Dzong di Paro |
Para pria
punya hobi yang menarik. Mengunyah sirih (hehehe) dan bermain panah. Sirih atau
betel nut atau sering disebut
dengan Doma dapat
ditemukan di mana saja dan mereka senang sekali mengunyahnya. Mereka kaget saat
saya katakan, di Indonesia yang ngunyah sirih itu nenek-nenek. Hehehe. Kalau
panahan, itu memang olahraga nasional Bhutan. Di lapangan khusus panahan, dua
tim akan beradu dan mereka bisa bermain sepanjang hari dari pagi sampai sore.
Ketika mereka berhasil memanah target, maka tim akan bernyanyi dan menari baru
lanjut lagi untuk memanah. Kebayang dong, berapa banyak tarian dan lagu yang
mereka mainkan.
Archery versi serius |
Archery super amatiran. Lihat wajah saya yang sok keren. |
Kalau ke
Bhutan, di kota manapun tidak akan ditemukan traffic
light. Iya, di sana nggak ada lampu merah. Yang ada adalah tugu di
tengah jalan dengan polisi yang akan mengatur lalu lintas, mengatur kendaraan
mana yang boleh lewat dan giliran mana yang harus menunggu. Keren ya. Mungkin
juga karena jumlah penduduk dan jumlah pengendara mobil nggak banyak.
Keluar
dari bandara Paro International Airport akan langsung terlihat sungat di sisi
jalan. Airnya mengalir dengan tenang, jernih tapi nggak ada orang. Kalau di
Indonesia kan banyak yang mancing. Ketika kami tanya, kok nggak ada yang
mancing atau mandi, hehehe, katanya sih memang dilarang, dan bahkan mancing dan
membunuh ikan itu dilarang. Sebagai penganut agama Budha, membunuh makhluk
hidup lainnya benar-benar dilarang.
Di banyak
tempat di Bhutan, akan mudah menemui praying
wheel. Bentuknya silinder dengan ukuran beragam dari yang mini sampai
yang besar. Isi dari praying wheel itu
adalah kertas atau kain yang bertuliskan doa Om
Mani Padmi Hum yang artinya kurang lebih "Permata itu di dalam
teratai". Praying wheel ini diputar
searah jarum jam, dan biasanya kalau di shrine
jumlahnya bisa puluhan lebih. Diputar sambil melafalkan doa atau mantra. Ketika
Andri dan saya mengunjungi salah satu shrine
di sana kami pun ikut memutar praying wheels
yang banyak itu sambil memanjatkan doa, dari doa pribadi sampai karena udah
masih banyak yang harus diputar akhirnya doanya jadi "Semoga bisa ke
Bhutan lagi", "Semoga Tuhan menjaga keluarga kami", "Semoga
semua makhluk berbahagia". Begitu terus berulang-ulang.
Praying Wheel |
Kalau
berkunjung ke shrine di Bhutan, entah di
Thimpu, Paro atau kota lain, banyak yang terkagum-kagum dengan warna-warni
dekorasi bangunannya. Saya pun juga begitu. Ukiran gambar, warna-warni yang
menarik hati dan bangunan yang terlihat tradisional tapi kokoh dan anggun,
menambah daya tariknya. Eh, pernah loh ketika saya berkunjung ke sebuah shrine, Andri dan saya tiba-tiba disodorin holy water sama seorang monk dan diberi gelang dari benang yang diikat
di pergelangan kami. Si monk
ngomongnya,"It's for blessing."
Catatan
kecil, kalau mau ke shrine, sebaiknya
sama tour guide, karena kalau sebelum
masuk, biasanya ditanya sama petugasnya, apakah kita turis atau bagaimana. Dan
kalau turis, ditanya lebih lanjut mana tour
guide-nya. Saya dan Andri pernah ditanya petugas dan mereka
memperbolehkan kami masuk ketika kami jelaskan kalau sebenarnya kami dalam
rangka pekerjaan dan tour guide alias
sopir kami menunggu di parkiran.
Di Bhutan
ada bulan vegan. Maksudnya dalam 1 bulan itu makanannya kebanyakan vegan. Hanya
sedikit restoran yang memberikan menu yang ada dagingnya. Waktu itu kami baru
selesai dari Tiger's Nest, lapar luar biasa dan kami mohon banget sama tour guide kami untuk mencarikan makanan yang
ada dagingnya. Kayaknya energi nggak pulih kalau nggak dapat asupan daging!
Untungnya ada 1 restoran yang mau memasak daging buat kami.
- Kalau Jepang ada onsen, Bhutan punya stone bath
Mandi air
hangat di udara yang dingin dan setelah beraktifitas berat tentu menyenangkan.
Kami mendapat tawaran untuk menikmati stone
bath. Jadi, ada batu-batu khusus yang dipanaskan dan dicemplungin ke
ember di mana airnya akan mengalir ke bak yang digunakan untuk berendam. Shiska
dan saya tertarik untuk mencobanya. Kapan lagi cobaaaa.
Di bak
yang digunakan untuk berendam telah diberikan sejenis rumput berwarna hijau
yang khasiatnya bagus buat kesehatan. Bisa digunakan untuk gosok-gosok badan.
Sebelum berendam kami diberi tahu nomor bak kami, semisal Shiska bak no 3 dan
saya no 4. Ketika kami sudah di dalam bak, nanti petugas dari luar akan teriak,"No 3, do you want some more stones?"
Kalau kami jawab ya, maka mereka akan masukkan lagi batu-batu panas ke dalam
ember dan air panas pun mengalir ke bak, yang rasanya nikmat luar biasa. Lebay
ya. Tapi berendam di stone bath ini
nggak boleh lama-lama, karena bisa bikin puyeng. Sama lah kayak berendam di
onsen nggak boleh lama juga kan.
Bak untuk menikmati stone bath |
- Hmmm, mall-nya mana ya?
Saking
senang sekaligus paniknya mau ke Bhutan, saya nggak sempat ngecek lebih
dalam tentang Bhutan. Sebelum mendarat di Bhutan kepikiran untuk mampir ah ke
mall-nya di sana. Ternyata oh ternyata, lampu lalu lintas aja nggak ada apalagi
mall. Shiska dengan geli ngomong,"Namanya juga rustic country." Karena nggak ada mall, kami pun mainnya ke
pasar. Iya pasar beneran. Senang banget lihat orang-orang jualan beserta
dagangannya. Lihat secara langsung daging yak dan keju dari yak yang kerasnya
kayak batu. Shiska yang emak-emak dengan semangat beli bawang merah yang
ukurannya memang sadis, besar kayak bawang bombay. Cabe-nya mereka pun
ukurannya ekstra. Ekstra gede dan pedas. Sampai saya dan Shiska pun semangat
beli sambal yang sudah diolah dan dimasukkan ke botol kecil. Pedas, asem,
menyegarkan.
Bawang merah ginak ginuk |
Cabe raksasa |
- Lagi-lagi Ema Datshi
Sebelum
ke Bhutan saya sempat menanyakan mengenai masakan khas sana apa saja. Yang
paling terkenal tentu saja Ema Datshi yang terbuat dari cabe gede yang pedas
dan susu. Udah begitu saja, tapi rasanya sedaaaap. Ada juga yang terbuat dari
sapi dan lainnya. Setiap mau makan, kami sering memesan ema datshi. Favorit
lah, pokoknya. Apalagi karena saya dan Shiska nggak suka masakan India. Di
Bhutan karena dekat dengan India jadi banyak masakan India di restoran bahkan
di hotel.
Ema datshi yang pojok kiri bawah. Sedaaaap |
- Ini pria atau wanita
Satu yang
paling bikin saya hampir frustrasi di Bhutan adalah mengenai nama mereka. Warga
Bhutan punya nama yang cenderung mirip atau bisa dikatakan sama. Jadi ada lebih
dari dua orang yang namanya Sonam, Tshering,
Tashi, Kinley, atau Kezang. Itu pun bisa digunakan oleh pria atau
wanita. Klien kami, pegawainya ada tiga orang yang namanya Tshering. Wadaaaw.
Satu saya panggil Ms. Tshering, satu lagi Mr. TP (singkatan dari Tshering
Penjor) dan satu lagi Mr. Tshering tanpa embel apa-apa. Mereka pun tertawa
kalau saya katakan, ampun, saya susah menghapal nama kalian. Kalau kata kolega
saya di Singapura, sudahlah menyerah saja untuk menghapal nama mereka. Memang
sesusah itu. Hahaha.
Hmmm,
saya nggak akan pernah bosan ke Bhutan. Alam yang cantik, penduduk yang ramah
dan budaya yang menarik selalu membuat saya ingin datang dan datang lagi ke
sana.
Semoga
Tuhan dan alam semesta mengabulkan doa saya.